Sudah beberapa hari, Ramdhan telah menghampiri kita. Dan selama itu juga kita bisa menyaksikan gelora keimanan yang dikumandangkan dikehidupan kita saat ini. Setiap malam, mesjid-mesjid yang dipenuhi banyak orang yang sedang menjalankan ibadah taraweh, lalu setiap rumah yang terdengar suara tadarusan, dan masih banyak lainnya.
Sungguh melihat itu semua, maka akan muncul sebuah perasaan gembira bahwasanya Ramadhan benar – benar membawa diri kita untuk menuntun kita menuju kebaikan. Ramadhan juga mengajari kita sebagai makhluk yang saling berbagi, penyayang dan saling mengasihi. Selain itu juga membuat kita untuk dapat mengendalikan diri dan belajar sabar menghadapi sesuatu hal yang terjadi. Inti dari itu semua, bahwasanya kita mampu menciptakan sebuah lingkungan yang diselubungi iman dan takwa.
Namun sungguh amat disayangkan, karena rasa kebahagiaan tersebut tidak terasa full dalam batiniah kita, selama lahiriah kita masih melihat sisi lain dari sebuah kebiasaan Ramadhan. Sebuah kebiasaan yang sungguh sangat berkebalikan dari makna Ramadhan itu sendiri.
Kini, tiba-tiba saja dapur – dapur rumah kita menjadi sebuah restoran kecil. Dimana semua makanan yang lezat dan beraneka ragam cita rasa disajikan dan dihadirkan. Menu- menu biasa kini menjadi menu istimewa. Kenapa bisa demikian? Padahal Ramadhan mengajarkan kita sebagai makhluk yang saling berbagi, penyayang dan saling mengasihi.
Jika ditanya jawabnya, maka akan banyak kata ehm, hm… berbagai alasan dan pendapat akan banyak diutarakan. Waktu berbuka yang penuh barokah, kenapa bisa dijadikan sebuah ajang “balas dendam”. Setelah seharian tidak makan, maka dilampiaskan saat berbuka dengan merasakan makanan yang super istimewa.
Tapi setelah itu, tiba- tiba uang belanja pun membengkak. Yang biasanya uang belanja perhari cukup senilai Rp. 15.000 / hari kini saat Ramadhan berubah menjadi 2 hingga 3 kali lipat. Dan yang menjadi sasaran alasan adalah harga barang kebutuhan meningkat.
Sebenarnya, jika kita pandai memaknai Ramadhan tentu tidaklah ada keluh kesah dalam diri. Sungguh memang dapat dirasakan jika sedang berpuasa memiliki pikiran “jika berbuka nanti ingin makan ini itu” tapi setelah itu makanan tidaklah kemakan semuanya, akhirnya mubazir. Karena sebenarnya itu hanya keinginan belaka saja.
Dengan demikian, mari sikapi diri kita dengan memahami dari makna puasa itu sendiri. Karena inti berpuasa itu adalah bagaimana seharusnya kita bisa saling berbagi, dan bisa merasakan bagaimana orang yang menderita kekurangan atau kurang beruntung dari kita. Idealnya, kita sehari – hari makan 3 kali sehari dan saat puasa maka kita makan menjadi 2 kali sehari. Tentulah, seharusnya jatah uang belanja ada sisihnya. Dan sisihnya itu bisa dimanfaatkan untuk bersedekah. Jatah satu kali makan kita, bisa diberikan pada saudara kita yang kurang beruntung diluar sana, tentu itu akan memberikan kontribusi besar bagi Negara kita juga tentunya. Dan pahala tentulah kita dapat juga.
Hal yang sekecil ini memang selalu dianggap sepele, namun sebenarnya ini bisa mendatangkan kerugian juga. Untuk merasakan Ramadhan yang sesungguhnya tentulah belum terlambat. Mumpung masih ada beberapa hari puasa ini, mari kita benahi managemen Ramadhan kita.
0 comments:
Posting Komentar